Rabu, 03 Oktober 2012
Kamis, 27 September 2012
Pertemuan 17
Sunan Kudus
|
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan
Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka.
Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir
yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi
Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga.
Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen,
Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga:
sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu
sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus
adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari
arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi
ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan
sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu
yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar
penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina".
Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk
menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat
tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya
mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah
Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan
hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya,
ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur
saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati
Jipang, Arya Penangsang.n
|
Maulana Malik
Ibrahim
(Wafat 1419)
(Wafat 1419)
|
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy
diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad
Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah
Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut
sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah
menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal
di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan
Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro,
yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan
ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa,
sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi
putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal
dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah
ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang.
Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih
berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah
daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu
adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan
pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga
menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib,
kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa.
Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru
bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam
Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat
sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419
M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik,
Jawa Timur.n
|
Sunan Muria
|
Ia putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri
sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya
adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di
lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara
ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih
suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk
menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai
penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Ia dikenal
sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya
masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang
berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus
dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan
Kinanti.n
|
Pertemuan 16
Sunan Giri
|
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias
Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada
1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan
dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya--seorang putri
raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut
anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi
versi Meinsma)
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung
Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi
gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga
isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren
misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat
berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren
di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit
adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai
tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan
masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan
pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka
pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri
Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu
Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang
penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit,
Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan
Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas
dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi
keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran
Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan
Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai
penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura,
Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk
Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari
Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya
yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul
Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti
Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri.
Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat
dengan ajaran Islam.n
|
Sunan Gunung Jati
|
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan
dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami
perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW,
bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad
Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman
masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara
Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah
Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari
Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak
berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara.
Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama
lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah
satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati
memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam
dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur
Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur
berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan
Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi
cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari
jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada
Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120
tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung
Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n
|
Sunan Kalijaga
|
Dialah
"wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar
tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan
dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta
diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said.
Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya,
Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut
asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu
berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di
Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa
mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di
sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari
bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci"
kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai
lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan
Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten,
bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan
Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan
Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang
merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan
mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik
berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia
berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis
dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni
suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan
sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja.
Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian
besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya
adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang
Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n
|
Pertemuan 15
Sunan Bonang
|
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu
Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir
diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri
seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren
ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah
di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang
mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal
Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di
Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia
membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan
nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan
Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan
Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah
yang sangat sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di
Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia
meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung,
setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih,
ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf
ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan
arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai
mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq).
Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama
dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau
haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media
kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu
dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra
berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil"
yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada
899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah
pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta
Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang
saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang
menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen
bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan
pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah
salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah
dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon
dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa
ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah
(peneguhan).n
|
|
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut
Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal
dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel
sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah
Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota
Wonokromo sekarang).
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk
ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun
1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di
Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit
menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting
salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati
di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri.
Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika
Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan
Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang
menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit,
untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang
dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren.
Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15,
pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah
Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan
Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke
berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun,
pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan
pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo"
(moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk
"tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan
narkotik, dan tidak berzina."
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di
sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n
|
|
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel.
Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat
yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M.
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari
ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian
terdampar di Dusun Jelog
--pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan
Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri
Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat
mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal.
Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang
dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di
antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang
lapar/beri pakaian pada yang telanjang'.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di
pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir
miskin.n
|
Pertemuan 14
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Nama lengkap beliau Syeikh Muhammad
Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari bin Saiyid Abu Bakar bin
Saiyid Abdullah al-’Aidrus bin Saiyid Abu Bakar as-Sakran bin Saiyid
Abdur Rahman as-Saqaf bin Saiyid Muhammad Maula ad-Dawilah al-’Aidrus,
dan seterusnya sampai kepada Saidina Ali bin Abi Thalib dan Saidatina
Fatimah bin Nabi Muhammad SAW. Lahir di Lok gabang tanggal 19 maret 1710
M ,Sebagaimana kebiasaan Ulama-ulama dahulu selalu menaruh Kota tempat
tinggal dibelakang nama, seperti, Al bantani yang berasal dari banten ,
Al fadani yang berasal dari Padang begitupun Al Banjari yang berasal
dari Banjarmasin Kalimantan. Kemasyhuran Ulama ulama yang berasal dari
Indonesia di Mekkah terbilang cukup banyak, sebut saja Syech Nawawi Al
bantani , Syech Abdul shomad al Palembani, Syech Arsyad Al banjari dan
masih banyak lagi ulama-ulama yang berasal dari Nusantara cukup terkenal
di mekkah, Bahkan Syech Nawawi Albantani setelah sekian lama berdakwa
di Tanah kelahirannya, beliau kembali keMekkah sampai akhir hayatnya.
Syech Arsyad
Albanjaripun sangat terkenal dimekkah karena keluasan ilmu yang dimiliki
teutama ilmu Qiraat, Bahkan Beliau mengarang Kitab Qiraat 14 yang
bersumber dari dari Imam Syatibi dan uniknya kitab tersebut setiap Juz
dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar . Karya lainnya yang cukup
termasyhur dikalimantan adalah kitab Fiqih Sabilal Muhtadin dan juga
menjadi rujukan Ulama-ulama di jawa.
Pada suatu hari,
tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah) mengadakan kunjungan
ke kampung-kampung, hingga sampailah sang Sultan ke kampung Lok Gabang.
Alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan yang indah
dan menawan hatinya. Maka sang Sultan bertanya, siapakah pelukisnya,
lalu ia mendapat jawaban bahwa Muhammad Arsyad adalah sang pelukis yang
sedang dikaguminya. Mengetahui kecerdasan dan bakat sang pelukis,
terbesitlah di hati sultan, sebuah keinginan untuk mengasuh dan mendidik
Arsyad kecil di istana. Usia Arsyad sendiri ketika itu baru sekitar
tujuh tahun.
Sultanpun mengutarakan
keinginan hatinya kepada kedua orang tua Muhammad Arsyad. Pada mulanya
Abdullah ayah dari Syech Arsayd Al banjari dan istrinya merasa enggan
melepas anaknya tercinta. namun demi masa depan sang buah hati yang
diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang
tua, maka diterimalah tawaran sang sultan. Kepandaian Muhammad Arsyad
dalam membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta
keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana sayang dan
hormat kepadanya. Bahkan sultan pun memperlakukannya seperti anak
kandung sendiri.
Menginjak dewasa Syech Arsyad al banjari
belajar di Mekkah selama kurang lebih 30 tahun beliau diantara
guru-gurunya adalah Syeck Athaillah al Misri Pengarang Kitab Tashauf Al
Hikam, Syech Abdus Shomad AlPalembani, Syech Yasin Al Yamani . Selama
belajar Syech Muhammad Al abanjari telah menguasai berbagai Disiplin
Ilmu dan telah memperoleh beberapa Ijazah Sanad dari guru-gurunya.
Durasi masa belajar di
Mekah dan Madinah yang demikian lama serta banyaknya jumlah pelajaran
dan jenis kitab dipelajari, dan kapabilitas ulama tempatnya berguru
menjadikan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari akhirnya
menjadi seorang ulama besar tanah Jawa.
Sekitar tahun 1772 M Syech Muhanmmad
Arsyad Al Banjari minta ijin kepada guru-gurunya untuk kembali kekampung
Halamannya Di banjarmasin Untuk melakukan dakwah dan syiar islam. Dan
sebelum kembali ke Kalimantan syech Muhammad Arsyad sempat singgah dan
bermalam di Jakarta di rumah salah seorang temannya Sewaktu belajar di
Mekkah bahkan beliau sempat memberikan petunjuk Arah Qiblat Masjid
Jembatan Lima jakarta, masjid pekojan dan masjid luar batang . Setelah
beberapa lama di Jakarta Beliau kembali ke Banjarmasin untuk berdakwah.
Kepedulian Syech Muhammad Arsyad
Albanjari kepada Masyarakat banjar yang hidup dibawah garis kemiskinan ,
membuat beliau berinisiatif bahwa dakwah tidak cukup hanya memberikan
nasehat, mengajar saja Namun beliau coba mengangkat taraf hidup
Masyarakat Banjar dengan melakukan Program Irigasi untuk meningkatkan
hasil panen dan mengubah lahan-lahan yang non produktif menjadi lahan
produktif. Dan Hasilnya pun cukup menggembirakan dan membawa mamfaat
yang besar bagi masyarakat.
Selama 41 tahun Syech arsyad Al banjari
melakukan dakwah pada masyarakat banjar dan berhasil mencetak
murid-murid yang mampu meneruskan perjuangan dakwahnya , dan beliau juga
sering mengirim murid-murid nya untuk Hijrah dan berdakwah di daerah
yang masyarakatnya haus akan ilmu-ilmu agama. Disamping itu pula beliau
banyak menulis kitab diantara karya-karya beliau adalah”
1. Tuhfah al-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu’minin wa ma Yufsiduhu Riddah al-Murtaddin, karya pertama, diselesaikan tahun 1188 H./1774 M.
2. Luqtah al-’Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H./1778 M.
3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H./1780 M.
4. Risalah Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamatil Mahdil Muntazhar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiul Awal 1196 H./1781 M.
5. Kitab Bab an-Nikah.
6. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi
7. Kanzu al-Ma’rifah
8. Ushul ad-Din
9. Kitab al-Faraid
10. Kitab Ilmu Falak
11. Hasyiyah Fathul Wahhab
12. Mushhaf al-Quran al-Karim
13. Fathur Rahman
14. Arkanu Ta’lim al-Shibyan
15. Bulugh al-Maram
16. Fi Bayani Qadha’ wa al-Qadar wa al-Waba’
17. Tuhfah al-Ahbab
18. Khuthbah Muthlaqah
2. Luqtah al-’Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H./1778 M.
3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H./1780 M.
4. Risalah Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamatil Mahdil Muntazhar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiul Awal 1196 H./1781 M.
5. Kitab Bab an-Nikah.
6. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi
7. Kanzu al-Ma’rifah
8. Ushul ad-Din
9. Kitab al-Faraid
10. Kitab Ilmu Falak
11. Hasyiyah Fathul Wahhab
12. Mushhaf al-Quran al-Karim
13. Fathur Rahman
14. Arkanu Ta’lim al-Shibyan
15. Bulugh al-Maram
16. Fi Bayani Qadha’ wa al-Qadar wa al-Waba’
17. Tuhfah al-Ahbab
18. Khuthbah Muthlaqah
Pada tahun 1807 M syech Arsyad al banjari dipanggil alloh Swt dan beliau diamakamkan di Kalampayan Kalimantan.
Pertemuan 13
Riwayat Hidup
Ada dua legenda yang dikaitkan dengan Abdul Rauf Singkel. Legenda pertama menyatakan bahwa ia adalah mubaligh pertama yang mengislamkan Aceh (lihat Liaw Yock Fang, 1975: 198 dan Braginsky, 1998: 474). Legenda kedua menyatakan bahwa khotbah-khotbahnya telah membawa “para pelacur” dari “bordil”, yang konon dibuka oleh Hamzah Fansuri di ibukota Aceh, untuk kembali ke jalan yang benar (Snouck Hurgronje dalam Braginsky, 1998: 474). Braginsky (1998) menegaskan bahwa kedua legenda itu tentu saja tidak sesuai dengan kebenaran sejarah.
Namun, tentang peranan Abdul Rauf sebagai mualim, ulama dan pendakwah yang berpengaruh dalam kedua legenda tersebut, tentu saja tidak bisa disangkal. Arah gagasannya selalu praktis. Sebagai seorang mualim ia selalu menaruh perhatian besar pada murid-muridnya. Karya-karyanya selalu bertolak dari perhatiannya yang demikian itu, yaitu untuk membantu mereka memahami Islam dengan lebih baik lagi, menasehati mereka supaya tidak tertimpa musibah, memperteguh kesalehan mereka, dan menghindarkan mereka dari tindakan salah dan tidak toleran (A. Johns dalam Braginsky, 1998: 474).
Abdul Rauf Singkel, yang bernama panjang Syeh Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad ke-17 M. Ayahnya adalah Syeh Ali Fansuri, yang masih bersaudara dengan Syeh Hamzah Fansuri. A. Rinkes memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M. Ini didasarkan perhitungan, ketika Abdul Rauf kembali dari Mekah, usianya antara 25 dan 30 tahun (lihat Abdul Hadi WM, 2006: 241). Namun, Abdul Hadi WM (2006) menyatakan bahwa perkiraan itu bisa meleset, karena Abdul Rauf berada di Mekah sekitar 19 tahun, dan kembali ke Aceh pada 1661. Bila dalam usia 30 tahun ia kembali dari Mekah, berarti ia dilahirkan pada 1630.
Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah, Abdul Rauf tidak hanya belajar di Mekah saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan dan tasawuf di bawah bimbingan guru-guru yang termasyhur di Madinah. Di kota ini, ia belajar kepada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim Kurani (Braginsky, 1998: 474). Dalam kata penutup salah satu karya tasawufnya, Abdul Rauf menyebutkan guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di kalangan para sufi Melayu. Ia juga menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit, Moha, Bait al-Fakih, dan lain-lain), Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah, dan Lohor di India. Di samping itu, ia juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang diamalkannya, antara lain Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah (Braginsky, 1998: 474).
Sepeninggal Ahmad Kusyasyi, Abdul Rauf memperoleh izin dari Mula Ibrahim Kurani untuk mendirikan sebuah sekolah di Aceh. Sejak 1661 hingga hampir 30 tahun berikutnya, Abdul Rauf mengajar di Aceh. Liaw Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa muridnya ramai sekali dan datang dari seluruh penjuru Nusantara. Dan, karena pandangan-pandangan keagamaannya sejalan dengan pandangan Sultan Taj al-‘Alam Safiatun Riayat Syah binti Iskandar Muda (1645-1675), Abdul Rauf kemudian diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-Rahman dan mufti atau kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif al-Rijal yang wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 241-242). Selain itu, ia juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak berkuasanya seorang raja perempuan (lihat Mat Piah et.al, 2002: 61).
Walaupun disibukkan oleh tugas mengajar dan pemerintahan, Abdul Rauf masih sempat menulis berbagai karya intelektual dan juga karya sastra berbentuk syair—banyak di antaranya yang masih tersimpan sampai sekarang.
Mulanya, ketika dititahkan oleh Sultanah untuk menulis Mir‘at al-Tullab pada 1672, ia tidak bersedia karena merasa kurang menguasai bahasa Melayu setelah lama bermukim di Haramayn (Arab Saudi). Tetapi setelah mempertimbangkan masak-masak perlunya kitab semacam ini ditulis dalam bahasa Melayu, ia pun mengerjakannya, dengan dibantu oleh dua orang sabahat (Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad dalam Abdul hadi WM, 2006: 243). Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat bahwa karyanya tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an dan hadis.
Pengaruh Abdul Rauf juga mencapai umat Islam di Jawa. Braginsky (1998) menyebutkan bahwa Abdul Rauf pernah berkunjung ke Banten. Sedangkan Liaw Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa salah satu karya Abdul Rauf dikutip dalam sebuah risalah sufi yang terkenal di Jawa. Sementara itu, tarekat Syattariyah, yang juga banyak penganutnya di Jawa, membubuhkan nama Abdul Rauf dalam silsilah para sufi besar penganut tarekat tersebut. Sehingga, Abdul Rauf jelas dikenal oleh orang-orang Jawa yang menganutnya.
Barangkali yang paling diingat orang tentang Abdul Rauf adalah bahwa ia berpenting sekali dalam menengahi silang pendapat antara Nuruddin al-Raniri dan Hamzah Fansuri tentang aliran wujudiyyah. Braginsky (1998) telah menguraikan pendekatan Abdul Rauf yang lebih sejuk dan damai terhadap aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri tersebut.
Ketika wafat pada tahun 1693, Abdul Rauf dimakamkan di muara sebuah sungai di Aceh, di samping makam Teuku Anjong yang dikeramatkan oleh orang Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 246), sehingga ia dikenal juga sebagai Syeh Kuala atau Tengku di Kuala (Liaw Yock Fang, 1975: 198).
B. Pemikiran
1. Tasawuf
Dalam banyak tulisannya, Abdul Rauf Singkel menekankan tentang transendensi Tuhan di atas makhluk ciptaan-Nya. Ia menyanggah pandangan wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam karyanya yang berjudul Kifayat al-Muhtajin, Abdul Rauf berpendapat bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam semesta, Dia menciptakan Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad inilah Tuhan kemudian menciptakan permanent archetypes (al-a‘yan al-kharijiyyah), yaitu alam semesta yang potensial, yang menjadi sumber bagi exterior archetypes (al-a‘yan al-kharijiyyah), bentuk konkret makluk ciptaan. Selanjutnya, Abdul Rauf menyimpulkan bahwa walaupun a‘yan al-kharijiyyah adalah emanasi (pancaran) dari Wujud Yang Mutlak, ia tetap berbeda dari Tuhan. Abdul Rauf mengumpamakan perbedaan ini dengan tangan dan bayangannya. Walaupun tangan sangat sukar untuk dipisahkan dari banyangannya, tetapi bayangan itu bukanlah tangan yang sebenarnya (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).
Secara umum, Abdul Rauf ingin mengajarkan harmoni antara syariat dan sufisme. Dalam karya-karyanya ia menyatakan bahwa tasawuf harus bekerjasama dengan syariat. Hanya dengan kepatuhan yang total terhadap syariat-lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh pengalaman hakikat yang sejati. Pendekatannya ini tentu saja berbeda dari pendekatan Nuruddin al-Raniri yang tanpa kompromi. Abdul Rauf cenderung memilih jalan yang lebih damai dan sejuk dalam berinteraksi dengan aliran wujudiyyah. Maka, walaupun ia menentang aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri itu, ia tidak menyatakannya secara terbuka. Lagipula, ia juga tidak setuju dengan cara-cara radikal yang ditempuh oleh Nuruddin (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).
Menariknya, dalam karya-karyanya ia tidak menyebut Nuruddin al-Raniri, yang karya-karyanya mungkin sekali telah dikenalinya, tetapi seolah-olah mengisyaratkan peristiwa tragis yang pernah terjadi, melalui kutipan sebuah hadis: “Jangan sampai terjadi seorang muslim menyebut muslim lain sebagai kafir. Karena jika ia berbuat demikian, dan memang demikianlah kenyataannya, lalu apakah manfaatnya. Sedangkan jika ia salah menuduh, maka tuduhan ini akan dibalikkan melawan ia sendiri” (Johns dalam Braginsky, 1998: 476).
Dengan caranya yang lebih damai ini, ia dapat menahan berkembangnya heterodoksi dalam Islam yang disebabkan oleh tafsir yang kurang tepat terhadap ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani (Abdul Hadi WM, 2006: 241).
Penekanannya tentang pentingnya syariat dalam tasawuf muncul dalam Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf). Di dalam kitab ini, Abdul Rauf menguraikan masalah zikir. Zikir adalah dasar dari tasawuf dan karena itu merupakan metode yang penting dalam disiplin kerohanian sufi. Abdul Rauf membagi zikir menjadi dua, yaitu zikr hasanah dan zikir darajat. Zikir yang pertama tidak mengikuti aturan tertentu, sedangkan zikir yang kedua terikat aturan yang ketat (Abdul Hadi WM, 2006: 241).
Zikir darajat dilakukan setelah seseorang bertobat, kemudian menjalani upacara tertentu seperti duduk bersila menyilangkan dua kaki dan berpakaian bersih, menghadap kiblat, memilih tempat yang gelap agar dapat berkonsentrasi dan memejamkan mata. Setelah itu ia mulai berzikir, mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah. Kalimat ini dibaca dengan irama tertentu sambil menggoyang-goyangkan kepala. Zikir dilakukan dengan nafas teratur, lidah menyentuh langit-langit bagian belakang, sembari mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah dengan pikiran. Biasanya 24 kalimat itu diucapkan baru nafas dihela (Abdul Hadi WM, 2006: 244).
Abdul Rauf mengajarkan dua metode zikir, yaitu zikir keras (jabr) dan zikir pelan (sirr). Zikir keras dimulai dengan zikir nafiy (pengingkaran) dan isbat (penegasan), yaitu mengucap la ilaha Illa Allah berulangkali. Zikir ini mengandung penegasan untuk mengingkari selain Tuhan dan peneguhan bahwa satu-satunya Tuhan adalah Allah Ta‘ala. Ini dapat dibaca juga dalam Syair Perahu. Di samping itu terdapat zikir gaib dengan mengucap Hu Allah dan zikir penyaksian (al-syahadah) dengan mengucapkan Allah, Allah. Zikir pelan dilakukan dengan nafas teratur, dengan membayangkan kalimat la ilaha saat menghela nafas dan illa Allah saat menarik nafas ke dalam hati. Tujuan zikir ini adalah pemusatan diri, bukan untuk membayangkan kehadiran gambar Tuhan seperti dalam praktik Yoga Pranayama (Abdul Hadi WM, 2006: 244-245).
Semua ajaran tasawuf didasarkan pada gagasan sentral Islam yang sama, yaitu tauhid, tetapi para sufi mempunyai beragam cara dalam menafsirkannya. Dasar pandangan Abdul Rauf tentang tauhid antara lain tertera dalam kitab Tanbih al-Masyi. Ia mengajarkan agar murid-muridnya senantiasa mengesakan al-Haq (Yang Maha Benar) dan menyucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak baginya, yaitu dengan mengucap la ilaha Illa Allah. Kalimat ini mengandung empat tingkatan tauhid. Pertama, penegasan penghilangan sifat dan perbuatan pada diri yang tidak layak disandang Allah. Tiga tingkatan tauhid berikutnya adalah uluhiya, yaitu mengesakan ketuhanan Allah, sifat, yaitu mengesakan sifat-sifat Allah, dan zat, mengesakan Zat Tuhan (Othman Mohd. Isa dalam Abdul Hadi WM, 2006: 245-246).
Menurut Abdul Rauf, “Salah satu bukti keesaan Allah SWT adalah tidak rusaknya alam. Allah berfirman, ‘Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa‘.” Berangkat dari pengetahuan inilah kemudian ia membicarakan hubungan ontologis atau kewujudan antara Pencipta dan ciptaan-ciptaan-Nya, antara Yang Satu dan “yang banyak”, antara al-wujud dan al-maujudat. Alam adalah wujud yang terikat pada sifat-sifat mumkinat atau serba mungkin. Oleh karena itu alam disebut sebagai sesuatu selain al-Haq (Oman Fathurrahman dalam Abdul Hadi WM, 2006: 246).
2. Syariat
Abdul Rauf Singkel juga menulis kitab dalam bidang syariat. Yang terpenting adalah Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu). Kitab ini merupakan kitab Melayu terlengkap yang membicarakan syariat. Sejak terbit, kitab ini menjadi rujukan para kadi atau hakim di wilayah Kesultanan Aceh. Dalam kitabnya ini, Abdul Rauf tidak membicarakan fikih ibadat, melainkan tiga cabang ilmu hukum Islam dari mazhab Syafii, yaitu hukum mengenai perdagangan dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hukum perkawinan, dan hukum tentang jinayat atau kejahatan (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM, 2006: 243).
Bidang pertama termasuk fikih muamalah dan mencakup urusan jual beli, hukum riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan, sayuran, utang-piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum barang hilang, dan lain-lain. Bidang yang berkaitan dengan perkawinan mencakup soal nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak, rujuk, fasah, nafkah, dan lain-lain. Sedangkan jinayat mencakup hukuman pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zinah, hukum membunuh, dan lain-lain (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM, 2006: 243).
3. Tafsir
Dalam bidang tafsir, Abdul Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman al-Mustafid. Pada hakikatnya, karya ini merupakan terjemahan Melayu dari kitab tafsir yang lain, yaitu tafsir al-Jalalain. Karya ini diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang belakangan lainnya, dengan mengambil agak banyak bagian dari tafsir al-Baidawi dan al-Kazin (Riddel dalam Braginsky, 1998: 275). Walaupun kitab ini tergolong sebagai tafsir, tetapi Braginsky (1998) menganggapnya sebagai terjemahan lengkap Al-Qur‘an dalam bahasa Melayu yang pertama, yang seperti lazimnya berbentuk sebagai tafsir dan bukan karangan eksegesis yang rinci.
4. Sastra
Walaupun kuatrin terpisah-pisah, yang tidak lain merupakan bait-bait syair, terkadang terdapat dalam Bustan as-Salatin karya Nuruddin al-Raniri, tetapi penerus tradisi penulisan “syair religius-mistik” adalah Abdul Rauf Singkel. Braginsky (1998: 491-484) telah membahas syair-syair tesebut dan menyimpulkan bahwa dalam syair-syairnya, Abdul Rauf Singkel menegaskan tentang Sifat Kekekalan (Kadim) Tuhan di satu pihak, dan sifat kemakhlukan (muhadas) manusia di pihak lain, yang menyebabkan adanya perbedaan mutlak di antara keduanya. Jadi, karya sastra Abdul Rauf yang berupa syair ini masih memiliki hubungan yang sangat erat dengan keyakinan tasawufnya.
Dalam sebuah naskah yang disalin di Bukit Tinggi pada 1859, diberitakan bahwa Abdul Rauf-lah yang telah mengarang Syair Makrifat. Dalam syair ini, dibahas tentang empat komponen agama Islam, yaitu iman, Islam, tauhid, dan makrifat, dan tentang makrifat sebagai pengenalan sufi yang memahkotai keempat komponen itu. Syair ini juga menegaskan bahwa hanya orang yang paham akan makna semuanya yang layak disebut sebagai orang yang telah menganut agama yang sempurna.
C. Karya
Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an dan hadis, di antaranya adalah:
1.Daka‘ik al-Huruf (Kehalusan-kehalusan Huruf), dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa.
2.Tafsir Baidhawi (terjemahan, 1884, diterbitkan di Istambul).
3.Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu).
4.Umdat al-muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bai Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf).
5.Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi (Pedoman bagi Penempuh Tarekat al-Qusyasyi, bahasa Arab).
6.Bayan al-Arkan (Penjelasan tentang Rukun-rukun Islam, bahasa Melayu).
7.Bidayah al-Baligah (Permulaan yang Sempurna, bahasa Melayu).
8.Sullam al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang yang Mencari Faedah, bahasa Melayu).
9.Piagam tentang Zikir (bahasa Melayu).
10.Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawy.
11.Syarh Latif ‘Ala Arba‘ Hadisan li al-Imam al-Nawawiy (Penjelasan Terperinci atas Kitab empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, bahasa Melayu).
12.Al-Mawa‘iz al-Ba‘diah (Petuah-petuah Berharga, bahasa Melayu).
13.Kifayat al-Muhtajin.
14.Bayan Tajilli (Penjelasan tentang Konsep Manifestasi Tuhan).
15.Syair Makrifat.
16.Al-Tareqat al-Syattariyah (Untuk Memahami jalan Syattariyah).
17.Majmu al-Masa‘il (Himpunan Petranyaan).
18.Syam al-Ma‘rifat (Matahari Penciptaan).
D. Pengaruh
Syeh Abdul Rauf Singkel memiliki banyak murid yang tersebar di kepulauan Nusantara. Dua muridnya juga masyhur, yaitu Syeh Jamaluddin al-Tursani dan Syeh Yusuf al-Makasari. Jamaluddin al-Tursani adalah seorang ahli hukum ketatanegaraan terkenal dan pernah menjadi Kadi Malik al-Adil di istana Aceh pada awal abad ke-18 M. Ia terkenal berkat karya hukum ketatanegaraannya yang komprehensif, Syafinat al Hukam (Bahtera Para Hakim), yang merupakan perluasan baik terhadap Taj al-Salatin maupun Bustan al-Salatin. Sedangkan Syeh Yusuf al-Makasari adalah seorang ulama dari Makassar. Ulama inilah yang mendampingi Sultan Ageng Tirtayasa dalam perjuangannya melawan kolonialisme Belanda (Abdul Hadi WM, 2006: 246).
Pada saat Abdul Rauf menjadi mufti, Aceh adalah kesultanan yang sangat penting di dunia Melayu karena menjadi tempat persinggahan para jemaah haji. Orang dari Jawa dan daerah lain di Indonesia yang pergi naik haji, harus singgah di Aceh. Sewaktu di Aceh, tidak sedikit pula dari jemaah haji belajar agama dan ilmu tasawuf kepada Abdul Rauf (A.H. Johns dalam Liaw Yock Fang, 1975: 197). Mungkin inilah sebabnya tarekat Syattariyah agak populer di Jawa dan nama Abdul Rauf sering disebut dalam silsilah tarekat tersebut. Sebuah karangan Abdul Rauf, yaitu Dakai‘ik al-Huruf, dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, sebuah risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa (Liaw Yock Fang, 1975: 197).
Bersama dengan Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Singkel menunjukkan bahwa Islam, sebagaimana yang dipraktekkan di Asia Tenggara, adalah bagian dari pasang surut gagasan dan praktek religius dan mistisisme di dunia. Gagasan dan praktek ini berakar pada Al-Qur‘an dan kehidupan komunitas Islam awal, tetapi kemudian berkembang ke berbagai arah yang berbeda-beda. Perdebatan yang terjadi di Aceh, dan juga di dunia Melayu pada umumnya, tidak bersifat unik bagi daerah ini saja, karena telah muncul juga di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Menurut Piah dkk (2002), Aceh menangkap gagasan dan praktek-praktek ini dan mengeskpresikannya dengan cara yang rumit dan menantang bagi kaum Muslim yang memahami keimanan mereka melalui medium bahasa Melayu.
Ada dua legenda yang dikaitkan dengan Abdul Rauf Singkel. Legenda pertama menyatakan bahwa ia adalah mubaligh pertama yang mengislamkan Aceh (lihat Liaw Yock Fang, 1975: 198 dan Braginsky, 1998: 474). Legenda kedua menyatakan bahwa khotbah-khotbahnya telah membawa “para pelacur” dari “bordil”, yang konon dibuka oleh Hamzah Fansuri di ibukota Aceh, untuk kembali ke jalan yang benar (Snouck Hurgronje dalam Braginsky, 1998: 474). Braginsky (1998) menegaskan bahwa kedua legenda itu tentu saja tidak sesuai dengan kebenaran sejarah.
Namun, tentang peranan Abdul Rauf sebagai mualim, ulama dan pendakwah yang berpengaruh dalam kedua legenda tersebut, tentu saja tidak bisa disangkal. Arah gagasannya selalu praktis. Sebagai seorang mualim ia selalu menaruh perhatian besar pada murid-muridnya. Karya-karyanya selalu bertolak dari perhatiannya yang demikian itu, yaitu untuk membantu mereka memahami Islam dengan lebih baik lagi, menasehati mereka supaya tidak tertimpa musibah, memperteguh kesalehan mereka, dan menghindarkan mereka dari tindakan salah dan tidak toleran (A. Johns dalam Braginsky, 1998: 474).
Abdul Rauf Singkel, yang bernama panjang Syeh Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili, lahir di Fansur, lalu dibesarkan di Singkil pada awal abad ke-17 M. Ayahnya adalah Syeh Ali Fansuri, yang masih bersaudara dengan Syeh Hamzah Fansuri. A. Rinkes memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M. Ini didasarkan perhitungan, ketika Abdul Rauf kembali dari Mekah, usianya antara 25 dan 30 tahun (lihat Abdul Hadi WM, 2006: 241). Namun, Abdul Hadi WM (2006) menyatakan bahwa perkiraan itu bisa meleset, karena Abdul Rauf berada di Mekah sekitar 19 tahun, dan kembali ke Aceh pada 1661. Bila dalam usia 30 tahun ia kembali dari Mekah, berarti ia dilahirkan pada 1630.
Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah, Abdul Rauf tidak hanya belajar di Mekah saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan dan tasawuf di bawah bimbingan guru-guru yang termasyhur di Madinah. Di kota ini, ia belajar kepada khalifah (pengganti) dari tarekat Syattariyah, yaitu Ahmad Kusyasyi dan penggantinya, Mula Ibrahim Kurani (Braginsky, 1998: 474). Dalam kata penutup salah satu karya tasawufnya, Abdul Rauf menyebutkan guru-gurunya. Data yang cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data pertama tentang pewarisan sufisme di kalangan para sufi Melayu. Ia juga menyebutkan beberapa kota Yaman (Zabit, Moha, Bait al-Fakih, dan lain-lain), Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah, dan Lohor di India. Di samping itu, ia juga menyebutkan daftar 11 tarekat sufi yang diamalkannya, antara lain Syattariyah, Kadiriyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah, dan Naqsyabandiyah (Braginsky, 1998: 474).
Sepeninggal Ahmad Kusyasyi, Abdul Rauf memperoleh izin dari Mula Ibrahim Kurani untuk mendirikan sebuah sekolah di Aceh. Sejak 1661 hingga hampir 30 tahun berikutnya, Abdul Rauf mengajar di Aceh. Liaw Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa muridnya ramai sekali dan datang dari seluruh penjuru Nusantara. Dan, karena pandangan-pandangan keagamaannya sejalan dengan pandangan Sultan Taj al-‘Alam Safiatun Riayat Syah binti Iskandar Muda (1645-1675), Abdul Rauf kemudian diangkat menjadi Syeikh Jamiah al-Rahman dan mufti atau kadi dengan sebutan Malik al-Adil, menggantikan Syeh Saif al-Rijal yang wafat tidak lama setelah ia kembali ke Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 241-242). Selain itu, ia juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menolak berkuasanya seorang raja perempuan (lihat Mat Piah et.al, 2002: 61).
Walaupun disibukkan oleh tugas mengajar dan pemerintahan, Abdul Rauf masih sempat menulis berbagai karya intelektual dan juga karya sastra berbentuk syair—banyak di antaranya yang masih tersimpan sampai sekarang.
Mulanya, ketika dititahkan oleh Sultanah untuk menulis Mir‘at al-Tullab pada 1672, ia tidak bersedia karena merasa kurang menguasai bahasa Melayu setelah lama bermukim di Haramayn (Arab Saudi). Tetapi setelah mempertimbangkan masak-masak perlunya kitab semacam ini ditulis dalam bahasa Melayu, ia pun mengerjakannya, dengan dibantu oleh dua orang sabahat (Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad dalam Abdul hadi WM, 2006: 243). Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat bahwa karyanya tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an dan hadis.
Pengaruh Abdul Rauf juga mencapai umat Islam di Jawa. Braginsky (1998) menyebutkan bahwa Abdul Rauf pernah berkunjung ke Banten. Sedangkan Liaw Yock Fang (1975) menyebutkan bahwa salah satu karya Abdul Rauf dikutip dalam sebuah risalah sufi yang terkenal di Jawa. Sementara itu, tarekat Syattariyah, yang juga banyak penganutnya di Jawa, membubuhkan nama Abdul Rauf dalam silsilah para sufi besar penganut tarekat tersebut. Sehingga, Abdul Rauf jelas dikenal oleh orang-orang Jawa yang menganutnya.
Barangkali yang paling diingat orang tentang Abdul Rauf adalah bahwa ia berpenting sekali dalam menengahi silang pendapat antara Nuruddin al-Raniri dan Hamzah Fansuri tentang aliran wujudiyyah. Braginsky (1998) telah menguraikan pendekatan Abdul Rauf yang lebih sejuk dan damai terhadap aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri tersebut.
Ketika wafat pada tahun 1693, Abdul Rauf dimakamkan di muara sebuah sungai di Aceh, di samping makam Teuku Anjong yang dikeramatkan oleh orang Aceh (Abdul Hadi WM, 2006: 246), sehingga ia dikenal juga sebagai Syeh Kuala atau Tengku di Kuala (Liaw Yock Fang, 1975: 198).
B. Pemikiran
1. Tasawuf
Dalam banyak tulisannya, Abdul Rauf Singkel menekankan tentang transendensi Tuhan di atas makhluk ciptaan-Nya. Ia menyanggah pandangan wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam karyanya yang berjudul Kifayat al-Muhtajin, Abdul Rauf berpendapat bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam semesta, Dia menciptakan Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad inilah Tuhan kemudian menciptakan permanent archetypes (al-a‘yan al-kharijiyyah), yaitu alam semesta yang potensial, yang menjadi sumber bagi exterior archetypes (al-a‘yan al-kharijiyyah), bentuk konkret makluk ciptaan. Selanjutnya, Abdul Rauf menyimpulkan bahwa walaupun a‘yan al-kharijiyyah adalah emanasi (pancaran) dari Wujud Yang Mutlak, ia tetap berbeda dari Tuhan. Abdul Rauf mengumpamakan perbedaan ini dengan tangan dan bayangannya. Walaupun tangan sangat sukar untuk dipisahkan dari banyangannya, tetapi bayangan itu bukanlah tangan yang sebenarnya (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).
Secara umum, Abdul Rauf ingin mengajarkan harmoni antara syariat dan sufisme. Dalam karya-karyanya ia menyatakan bahwa tasawuf harus bekerjasama dengan syariat. Hanya dengan kepatuhan yang total terhadap syariat-lah maka seorang pencari di jalan sufi dapat memperoleh pengalaman hakikat yang sejati. Pendekatannya ini tentu saja berbeda dari pendekatan Nuruddin al-Raniri yang tanpa kompromi. Abdul Rauf cenderung memilih jalan yang lebih damai dan sejuk dalam berinteraksi dengan aliran wujudiyyah. Maka, walaupun ia menentang aliran yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri itu, ia tidak menyatakannya secara terbuka. Lagipula, ia juga tidak setuju dengan cara-cara radikal yang ditempuh oleh Nuruddin (lihat Azyumardi Azra dalam Osman, 1997: 174).
Menariknya, dalam karya-karyanya ia tidak menyebut Nuruddin al-Raniri, yang karya-karyanya mungkin sekali telah dikenalinya, tetapi seolah-olah mengisyaratkan peristiwa tragis yang pernah terjadi, melalui kutipan sebuah hadis: “Jangan sampai terjadi seorang muslim menyebut muslim lain sebagai kafir. Karena jika ia berbuat demikian, dan memang demikianlah kenyataannya, lalu apakah manfaatnya. Sedangkan jika ia salah menuduh, maka tuduhan ini akan dibalikkan melawan ia sendiri” (Johns dalam Braginsky, 1998: 476).
Dengan caranya yang lebih damai ini, ia dapat menahan berkembangnya heterodoksi dalam Islam yang disebabkan oleh tafsir yang kurang tepat terhadap ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani (Abdul Hadi WM, 2006: 241).
Penekanannya tentang pentingnya syariat dalam tasawuf muncul dalam Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf). Di dalam kitab ini, Abdul Rauf menguraikan masalah zikir. Zikir adalah dasar dari tasawuf dan karena itu merupakan metode yang penting dalam disiplin kerohanian sufi. Abdul Rauf membagi zikir menjadi dua, yaitu zikr hasanah dan zikir darajat. Zikir yang pertama tidak mengikuti aturan tertentu, sedangkan zikir yang kedua terikat aturan yang ketat (Abdul Hadi WM, 2006: 241).
Zikir darajat dilakukan setelah seseorang bertobat, kemudian menjalani upacara tertentu seperti duduk bersila menyilangkan dua kaki dan berpakaian bersih, menghadap kiblat, memilih tempat yang gelap agar dapat berkonsentrasi dan memejamkan mata. Setelah itu ia mulai berzikir, mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah. Kalimat ini dibaca dengan irama tertentu sambil menggoyang-goyangkan kepala. Zikir dilakukan dengan nafas teratur, lidah menyentuh langit-langit bagian belakang, sembari mengucapkan kalimat la ilaha Illa Allah dengan pikiran. Biasanya 24 kalimat itu diucapkan baru nafas dihela (Abdul Hadi WM, 2006: 244).
Abdul Rauf mengajarkan dua metode zikir, yaitu zikir keras (jabr) dan zikir pelan (sirr). Zikir keras dimulai dengan zikir nafiy (pengingkaran) dan isbat (penegasan), yaitu mengucap la ilaha Illa Allah berulangkali. Zikir ini mengandung penegasan untuk mengingkari selain Tuhan dan peneguhan bahwa satu-satunya Tuhan adalah Allah Ta‘ala. Ini dapat dibaca juga dalam Syair Perahu. Di samping itu terdapat zikir gaib dengan mengucap Hu Allah dan zikir penyaksian (al-syahadah) dengan mengucapkan Allah, Allah. Zikir pelan dilakukan dengan nafas teratur, dengan membayangkan kalimat la ilaha saat menghela nafas dan illa Allah saat menarik nafas ke dalam hati. Tujuan zikir ini adalah pemusatan diri, bukan untuk membayangkan kehadiran gambar Tuhan seperti dalam praktik Yoga Pranayama (Abdul Hadi WM, 2006: 244-245).
Semua ajaran tasawuf didasarkan pada gagasan sentral Islam yang sama, yaitu tauhid, tetapi para sufi mempunyai beragam cara dalam menafsirkannya. Dasar pandangan Abdul Rauf tentang tauhid antara lain tertera dalam kitab Tanbih al-Masyi. Ia mengajarkan agar murid-muridnya senantiasa mengesakan al-Haq (Yang Maha Benar) dan menyucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak baginya, yaitu dengan mengucap la ilaha Illa Allah. Kalimat ini mengandung empat tingkatan tauhid. Pertama, penegasan penghilangan sifat dan perbuatan pada diri yang tidak layak disandang Allah. Tiga tingkatan tauhid berikutnya adalah uluhiya, yaitu mengesakan ketuhanan Allah, sifat, yaitu mengesakan sifat-sifat Allah, dan zat, mengesakan Zat Tuhan (Othman Mohd. Isa dalam Abdul Hadi WM, 2006: 245-246).
Menurut Abdul Rauf, “Salah satu bukti keesaan Allah SWT adalah tidak rusaknya alam. Allah berfirman, ‘Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa‘.” Berangkat dari pengetahuan inilah kemudian ia membicarakan hubungan ontologis atau kewujudan antara Pencipta dan ciptaan-ciptaan-Nya, antara Yang Satu dan “yang banyak”, antara al-wujud dan al-maujudat. Alam adalah wujud yang terikat pada sifat-sifat mumkinat atau serba mungkin. Oleh karena itu alam disebut sebagai sesuatu selain al-Haq (Oman Fathurrahman dalam Abdul Hadi WM, 2006: 246).
2. Syariat
Abdul Rauf Singkel juga menulis kitab dalam bidang syariat. Yang terpenting adalah Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu). Kitab ini merupakan kitab Melayu terlengkap yang membicarakan syariat. Sejak terbit, kitab ini menjadi rujukan para kadi atau hakim di wilayah Kesultanan Aceh. Dalam kitabnya ini, Abdul Rauf tidak membicarakan fikih ibadat, melainkan tiga cabang ilmu hukum Islam dari mazhab Syafii, yaitu hukum mengenai perdagangan dan undang-undang sipil atau kewarganegaraan, hukum perkawinan, dan hukum tentang jinayat atau kejahatan (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM, 2006: 243).
Bidang pertama termasuk fikih muamalah dan mencakup urusan jual beli, hukum riba, kemitraan dalam berdagang, perdagangan buah-buahan, sayuran, utang-piutang, hak milik atau harta anak kecil, sewa menyewa, wakaf, hukum barang hilang, dan lain-lain. Bidang yang berkaitan dengan perkawinan mencakup soal nikah, wali, upacara perkawinan, hukum talak, rujuk, fasah, nafkah, dan lain-lain. Sedangkan jinayat mencakup hukuman pemberontakan, perampokan, pencurian, perbuatan zinah, hukum membunuh, dan lain-lain (Ali Hasmy dalam Abdul Hadi WM, 2006: 243).
3. Tafsir
Dalam bidang tafsir, Abdul Rauf menghasilkan karya berjudul Tarjuman al-Mustafid. Pada hakikatnya, karya ini merupakan terjemahan Melayu dari kitab tafsir yang lain, yaitu tafsir al-Jalalain. Karya ini diselesaikan oleh muridnya, Daud Rumi, dan beberapa pengarang belakangan lainnya, dengan mengambil agak banyak bagian dari tafsir al-Baidawi dan al-Kazin (Riddel dalam Braginsky, 1998: 275). Walaupun kitab ini tergolong sebagai tafsir, tetapi Braginsky (1998) menganggapnya sebagai terjemahan lengkap Al-Qur‘an dalam bahasa Melayu yang pertama, yang seperti lazimnya berbentuk sebagai tafsir dan bukan karangan eksegesis yang rinci.
4. Sastra
Walaupun kuatrin terpisah-pisah, yang tidak lain merupakan bait-bait syair, terkadang terdapat dalam Bustan as-Salatin karya Nuruddin al-Raniri, tetapi penerus tradisi penulisan “syair religius-mistik” adalah Abdul Rauf Singkel. Braginsky (1998: 491-484) telah membahas syair-syair tesebut dan menyimpulkan bahwa dalam syair-syairnya, Abdul Rauf Singkel menegaskan tentang Sifat Kekekalan (Kadim) Tuhan di satu pihak, dan sifat kemakhlukan (muhadas) manusia di pihak lain, yang menyebabkan adanya perbedaan mutlak di antara keduanya. Jadi, karya sastra Abdul Rauf yang berupa syair ini masih memiliki hubungan yang sangat erat dengan keyakinan tasawufnya.
Dalam sebuah naskah yang disalin di Bukit Tinggi pada 1859, diberitakan bahwa Abdul Rauf-lah yang telah mengarang Syair Makrifat. Dalam syair ini, dibahas tentang empat komponen agama Islam, yaitu iman, Islam, tauhid, dan makrifat, dan tentang makrifat sebagai pengenalan sufi yang memahkotai keempat komponen itu. Syair ini juga menegaskan bahwa hanya orang yang paham akan makna semuanya yang layak disebut sebagai orang yang telah menganut agama yang sempurna.
C. Karya
Oman Fathurrahman (dalam Osman, 1997: 242) mencatat tidak kurang dari 36 kitab berkenaan dengan fikih dan syariat, tasawuf, dan tafsir Al-Qur‘an dan hadis, di antaranya adalah:
1.Daka‘ik al-Huruf (Kehalusan-kehalusan Huruf), dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa.
2.Tafsir Baidhawi (terjemahan, 1884, diterbitkan di Istambul).
3.Mirat al-Turab fi Tashil Ma‘rifah al-Ahkam al-Syar‘iyyah li al-Malik al-Wahab (Cermin Para Penuntut Ilmu untuk Memudahkan Tahu Hukum-hukum Syara‘ dari Tuhan, bahasa Melayu).
4.Umdat al-muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin (Pijakan bai Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf).
5.Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi (Pedoman bagi Penempuh Tarekat al-Qusyasyi, bahasa Arab).
6.Bayan al-Arkan (Penjelasan tentang Rukun-rukun Islam, bahasa Melayu).
7.Bidayah al-Baligah (Permulaan yang Sempurna, bahasa Melayu).
8.Sullam al-Mustafiddin (Tangga Setiap Orang yang Mencari Faedah, bahasa Melayu).
9.Piagam tentang Zikir (bahasa Melayu).
10.Tarjuman al-Mustafid bi al-Jawy.
11.Syarh Latif ‘Ala Arba‘ Hadisan li al-Imam al-Nawawiy (Penjelasan Terperinci atas Kitab empat Puluh Hadis Karangan Imam Nawawi, bahasa Melayu).
12.Al-Mawa‘iz al-Ba‘diah (Petuah-petuah Berharga, bahasa Melayu).
13.Kifayat al-Muhtajin.
14.Bayan Tajilli (Penjelasan tentang Konsep Manifestasi Tuhan).
15.Syair Makrifat.
16.Al-Tareqat al-Syattariyah (Untuk Memahami jalan Syattariyah).
17.Majmu al-Masa‘il (Himpunan Petranyaan).
18.Syam al-Ma‘rifat (Matahari Penciptaan).
D. Pengaruh
Syeh Abdul Rauf Singkel memiliki banyak murid yang tersebar di kepulauan Nusantara. Dua muridnya juga masyhur, yaitu Syeh Jamaluddin al-Tursani dan Syeh Yusuf al-Makasari. Jamaluddin al-Tursani adalah seorang ahli hukum ketatanegaraan terkenal dan pernah menjadi Kadi Malik al-Adil di istana Aceh pada awal abad ke-18 M. Ia terkenal berkat karya hukum ketatanegaraannya yang komprehensif, Syafinat al Hukam (Bahtera Para Hakim), yang merupakan perluasan baik terhadap Taj al-Salatin maupun Bustan al-Salatin. Sedangkan Syeh Yusuf al-Makasari adalah seorang ulama dari Makassar. Ulama inilah yang mendampingi Sultan Ageng Tirtayasa dalam perjuangannya melawan kolonialisme Belanda (Abdul Hadi WM, 2006: 246).
Pada saat Abdul Rauf menjadi mufti, Aceh adalah kesultanan yang sangat penting di dunia Melayu karena menjadi tempat persinggahan para jemaah haji. Orang dari Jawa dan daerah lain di Indonesia yang pergi naik haji, harus singgah di Aceh. Sewaktu di Aceh, tidak sedikit pula dari jemaah haji belajar agama dan ilmu tasawuf kepada Abdul Rauf (A.H. Johns dalam Liaw Yock Fang, 1975: 197). Mungkin inilah sebabnya tarekat Syattariyah agak populer di Jawa dan nama Abdul Rauf sering disebut dalam silsilah tarekat tersebut. Sebuah karangan Abdul Rauf, yaitu Dakai‘ik al-Huruf, dikutip dalam al-Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi, sebuah risalah ilmu tasawuf yang sangat penting di Jawa (Liaw Yock Fang, 1975: 197).
Bersama dengan Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Singkel menunjukkan bahwa Islam, sebagaimana yang dipraktekkan di Asia Tenggara, adalah bagian dari pasang surut gagasan dan praktek religius dan mistisisme di dunia. Gagasan dan praktek ini berakar pada Al-Qur‘an dan kehidupan komunitas Islam awal, tetapi kemudian berkembang ke berbagai arah yang berbeda-beda. Perdebatan yang terjadi di Aceh, dan juga di dunia Melayu pada umumnya, tidak bersifat unik bagi daerah ini saja, karena telah muncul juga di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Menurut Piah dkk (2002), Aceh menangkap gagasan dan praktek-praktek ini dan mengeskpresikannya dengan cara yang rumit dan menantang bagi kaum Muslim yang memahami keimanan mereka melalui medium bahasa Melayu.
Pertemuan 12
AWAL BERDIRINYA KERAJAAN GOWA TALLO
AWAL BERDIRINYA
Pada
awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan
nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat
kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene,
Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai
maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan
Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai
pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat
orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah
Batara Guru dan saudaranya
Gambar
di bawah merupakan peta Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan pada abad
16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng,
Wajo dan Sidenreng. Untuk mengetahui letak kerajaan-kerajaan tersebut,
silahkan diamati gambar peta tersebut.
Gambar Peta lokasi kerajaan Gowa – Tallo.
Masing-masing
kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan
masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk
persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang
lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Nama Makasar sebenarnya
adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai
nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Secara
geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat
strategis, karena berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara).
Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang
berasal dari Indonesia bagian Timur maupun yang berasal dari Indonesia
bagian Barat. Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar
berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan
Nusantara.
MASA PERKEMBANGAN KARAJAAN GOWA TALLO
Kehidupan Ekonomi
Seperti
yang telah Anda ketahui bahwa kerajaan Makasar merupakan kerajaan
Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian
Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti letak yang
strategis, memiliki pelabuhan yang baik serta didukung oleh jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak
pedagang-pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai
pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional
dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis,
Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.
Pelayaran
dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut
dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE (ket : artinya apa),
sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar
menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat. Selain
perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena
Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi
Selatan.
Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai
negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan
dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf
kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk
menambah kemakmuran hidupnya.
Sejak
Gowa Tallo sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin
hubungan dengan Ternate yang sudah menerima Islam dari Gresik. Raja
Ternate yakni Baabullah mengajak raja Gowa Tallo untuk masuk Islam, tapi
gagal. Baru pada masa Raja Datu Ri Bandang datang ke Kerajaan Gowa
Tallo agama Islam mulai masuk ke kerajaan ini. Setahun kemudian hampir
seluruh penduduk Gowa Tallo memeluk Islam. Mubaligh yang berjasa
menyebarkan Islam adalah Abdul Qodir Khotib Tunggal yang berasal dari
Minangkabau.
Raja
Gowa Tallo sangat besar perannya dalam menyebarkan Islam, sehingga
bukan rakyat saja yang memeluk Islam tapi kerajaan-kerajaan disekitarnya
juga menerima Islam, seperti Luwu, Wajo, Soppeg, dan Bone. Wajo
menerima Islam tahun 1610 M. Raja Bone pertama yang menerima Islam
bergelar Sultan Adam. Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan
untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam
kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap
sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan
agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat
percaya terhadap norma-norma tersebut.
Di
samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan
sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan
dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat
kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para
hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari
segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan
benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka
terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang
Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo
merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.
Kehidupan Politik Dan Masa Kemunduran kerajaan Gowa -Tallo
Penyebaran
Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang dari Sumatera,
sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan,
bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam.
Raja
Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Matoaya (Raja
Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun 1593 –
1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) sebagai Mangkubumi
bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan
Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada
masa pemerintahan raja Malekul Said (1639 – 1653).
Selanjutnya
kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan
Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai
daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang
keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai
ke Nusa Tenggara Barat.
Gambar Peta lokasi kerajaan Makasar.
Daerah
kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur
dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat
anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan
monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk
itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan
Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut
maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan
menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah
Maluku.
Dalam
peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya
untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan
Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut
maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.
Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan
melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah
kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh
Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan
Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk
menghancurkan Makasar.
Akibat
persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan
Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui
kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya
tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun
perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda
tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu
Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan
pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai
sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
Pertemuan 11
A.
KERAJAAN TERNATE
1.
Awal Perkembangan Kerajaan Ternate
Pada abad ke-13 di Maluku sudah berdiri Kerajaan
Ternate. Ibu kota Kerajaan Ternate terletak di Sampalu (Pulau Ternate).
Selain Kerajaan Ternate, di Maluku juga telah berdiri kerajaan lain, seperti Jaelolo,
Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan di Maluku,
Kerajaan Ternate yang paling maju. Kerajaan Ternate banyak dikunjungi oleh
pedagang, baik dari Nusantara maupun pedagang asing.
2. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Raja Ternate yang pertama adalah Sultan Marhum
(1465-1495 M). Raja berikutnya adalah putranya, Zainal Abidin. Pada masa
pemerintahannya, Zainal Abidin giat menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau di
sekitarnya, bahkan sampai ke Filiphina Selatan. Zainal Abidin memerintah hingga
tahun 1500 M. Setelah mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang
oleh Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah.
Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami puncak
kejayaannya. Wilayah kerajaan Ternate meliputi Mindanao, seluruh kepulauan di
Maluku, Papua, dan Timor. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar
sangat luas.
3. Aspek Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan
Kebudayaan
Perdagangan dan pelayaran mengalami perkembangan
yang pesat sehingga pada abad ke-15 telah menjadi kerajaan penting di Maluku.
Para pedagang asing datang ke Ternate menjual barang perhiasan, pakaian, dan
beras untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Ramainya perdagangan memberikan
keuntungan besar bagi perkembangan Kerajaan Ternate sehingga dapat membangun
laut yang cukup kuat.
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat
Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu
dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari Ternate dengan De Mesquita
dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci
Al-Qur’an. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari kerajaan Ternate adalah
keahlian masyarakatnya membuat kapal, seperti kapal kora-kora.
4.
Kemunduran Kerajaan Ternate
Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan karena diadu
domba dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing ( Portugis dan
Spanyol ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah
tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa mereka telah
diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil
mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut
tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata
kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.
B.
KERAJAAN TIDORE
1.
Awal Perkembangan Kerajaan Tidore
Kerajaan tidore terletak di sebelah selatan Ternate.
Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Ternate pertama adalah Muhammad
Naqal yang naik tahta pada tahun 1081 M. Baru pada tahun 1471 M, agama
Islam masuk di kerajaan Tidore yang dibawa oleh Ciriliyah, Raja Tidore
yang kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat
dakwah Syekh Mansur dari Arab.
2.
Aspek Kehidupan Politik dan Kebudayaan
Raja Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan
Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan
Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah
serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat
apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet,
dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh
Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus
meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, Makean
Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah
adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat
menjajah kembali.
3.
Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat
Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu
dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari
Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci
Al-Qur’an.
Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya,
seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore
banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku,
antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.
4.
Kemunduran Kerajaan Tidore
Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu
domba dengan Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan
Portugis ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah
tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah
diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil
mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan
tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai
perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan
strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk
organisasi yang kuat.